Ini merupakan tulisan Aqwam Fiazmi Hanifan yang saya ambil dari situs detik sport.com tulisannya saya gabungkan menjadi satu bagian agar lebih mudah dibaca.
SUMBER : Bagian 1 , Bagian 2 , Bagian 3 , Bagian 4
Hikayat Paul Cumming (Bagian 1)
Kisah Sedih Dari Lereng Semeru
Rumahnya agak menjorok ke dalam Dusun Drigu, Desa Poncokusumo
Kabupaten Malang, Jawa Timur. Lokasi rumahnya terpencil dari peradaban
manusia lainnya. Sunyi dan sepi.
Ada
yang masih ingat dengan Paul Cumming? Seseorang yang menjadi idola
suporter klub Galatama asal Jakarta yaitu Indonesia Muda di tahun 1981
hingga 1983. Beberapa mengenangnya sebagai sosok pelatih asing
kontroversial yang amat dicintai masyarakat Papua, namun dibenci
suporter bola asal Jawa di pertengahan dekade 80an.
Permainan keras yang menjadi ciri khas Perseman Manokwari kala itu membuat anak asuh Paul dicaci habis-habisan baik oleh pengamat, media maupun penggila bola. Bergeming, Paul tetap melanggeng dengan polanya yang terkenal keras -- PSMS Medan pun bukan tandingannya.
Benar saja, usai menjadi juara Divisi I tahun 1983, Perseman menjadi kuda hitam baru di kompetisi perserikatan dengan menjadi tim terbaik nomor empat di tahun 1985, serta runner-up 1986 sebelum ditaklukan Persib Bandung 1-0 lewat gol tunggal Djadjang Nurdjaman di partai Grand Final.
Paul adalah pula legenda bagi masyarakat Bandar Lampung. Namanya melegenda tapi dia bukan tokoh fiksi. Paul adalah manusia nyata. Kesuksesannya menangani klub Papua membuat ia ditarik mantan gubernur Lampung, Poedjono Pranoto, untuk membesut PSBL Bandar Lampung. Sepakbola Lampung pun menuai kejayaan. Setelah selalu berkutat di Divisi II, Paul bisa membawa PSBL promosi ke Divisi I dan Divisi Utama. Pekerjaan yang tak mudah tentunya.
Usai dipensiunkan secara paksa dari PSBL akibat keuangan klub yang defisit, Paul terpaksa menganggur. Beruntung kemudian Perseman mengontaknya kembali. Sampai tahun 2011, Paul kembali menetap di Papua sembari sempat melatih tim PON Papua Barat dan Persiwon Wondama.
***
Di Indonesia, Paul adalah orang kedua yang dinaturalisasi akibat urusan sepakbola. Orang asing pertama yang menjadi WNI gara-gara sepakbola adalah Toni Pogacnik, eks Pelatih Timnas tahun 1950an. Dan orang kedua itu adalah Paul Cumming, seorang Londoners yang teramat cinta kepada Negeri Zamrud Khatulistiwa.
Di masa itu sangat langka pesepakbola atau pelatih asing yang ingin berganti kewarganegaraan menjadi WNI. Paul termasuk orang langka itu. Prosesnya tidak mudah dan berbelit-belit. Selain memakan waktu lama, besarnya kontribusi terhadap sepakbola Indonesia pun menjadi kewajiban utama lainnya bagi siapa pun yang ingin jadi WNI.
Proses Paul menjadi WNI tidaklah semudah yang diterima Sergio Van Dijk, Kim Jefrey Kurniawan atau pemain asing naturalisasi lainnya. Setelah menunggu waktu 19 tahun, pasca kedatangannya pertama kali ke Indonesia tahun 1980, akhirnya pada 10 November 1999, Pengadilan Negeri Bandar Lampung mengetok sah dirinya sebagai WNI. Beruntung nasib Paul tak setragis sang pendahulu Toni Pogacnik yang keburu meninggal sebelum dirinya disahkan sebagai WNI.
Permainan keras yang menjadi ciri khas Perseman Manokwari kala itu membuat anak asuh Paul dicaci habis-habisan baik oleh pengamat, media maupun penggila bola. Bergeming, Paul tetap melanggeng dengan polanya yang terkenal keras -- PSMS Medan pun bukan tandingannya.
Benar saja, usai menjadi juara Divisi I tahun 1983, Perseman menjadi kuda hitam baru di kompetisi perserikatan dengan menjadi tim terbaik nomor empat di tahun 1985, serta runner-up 1986 sebelum ditaklukan Persib Bandung 1-0 lewat gol tunggal Djadjang Nurdjaman di partai Grand Final.
Paul adalah pula legenda bagi masyarakat Bandar Lampung. Namanya melegenda tapi dia bukan tokoh fiksi. Paul adalah manusia nyata. Kesuksesannya menangani klub Papua membuat ia ditarik mantan gubernur Lampung, Poedjono Pranoto, untuk membesut PSBL Bandar Lampung. Sepakbola Lampung pun menuai kejayaan. Setelah selalu berkutat di Divisi II, Paul bisa membawa PSBL promosi ke Divisi I dan Divisi Utama. Pekerjaan yang tak mudah tentunya.
Usai dipensiunkan secara paksa dari PSBL akibat keuangan klub yang defisit, Paul terpaksa menganggur. Beruntung kemudian Perseman mengontaknya kembali. Sampai tahun 2011, Paul kembali menetap di Papua sembari sempat melatih tim PON Papua Barat dan Persiwon Wondama.
***
Di Indonesia, Paul adalah orang kedua yang dinaturalisasi akibat urusan sepakbola. Orang asing pertama yang menjadi WNI gara-gara sepakbola adalah Toni Pogacnik, eks Pelatih Timnas tahun 1950an. Dan orang kedua itu adalah Paul Cumming, seorang Londoners yang teramat cinta kepada Negeri Zamrud Khatulistiwa.
Di masa itu sangat langka pesepakbola atau pelatih asing yang ingin berganti kewarganegaraan menjadi WNI. Paul termasuk orang langka itu. Prosesnya tidak mudah dan berbelit-belit. Selain memakan waktu lama, besarnya kontribusi terhadap sepakbola Indonesia pun menjadi kewajiban utama lainnya bagi siapa pun yang ingin jadi WNI.
Proses Paul menjadi WNI tidaklah semudah yang diterima Sergio Van Dijk, Kim Jefrey Kurniawan atau pemain asing naturalisasi lainnya. Setelah menunggu waktu 19 tahun, pasca kedatangannya pertama kali ke Indonesia tahun 1980, akhirnya pada 10 November 1999, Pengadilan Negeri Bandar Lampung mengetok sah dirinya sebagai WNI. Beruntung nasib Paul tak setragis sang pendahulu Toni Pogacnik yang keburu meninggal sebelum dirinya disahkan sebagai WNI.
Paul adalah generasi awal pelatih asing yang berani membesut klub-klub sepakbola di Indonesia. Dia seangkatan bersama Marek Janota, Wiel Coerver dan Fred Corba. Mereka menjadi bagian dari kebangkitan kompetisi Galatama. Mereka pun jadi saksi, betapa Galatama porak-poranda akibat pengaturan skor ulah mafia judi bola.
Pengalaman pahit saat Berniaga di Pedalaman dan Pesisir Papua
Entah mengapa dia betah berlama-lama di Indonesia, toh secara financial kehidupan Paul biasa-biasa saja. Selama ini selalu ada persepsi bahwa orang asing yang tinggal di Indonesia adalah kaum borjuis berdompet tebal. Paul jauh dari anggapan seperti itu. Dia mungkin "pebola naturalisasi" paling malang di Indonesia. Dari dulu hingga sekarang, dompet cekak selalu ia rasakan.
Hidupnya selama Papua di awal tahun 1990an terkadang butuh perjuangan ekstra dan menderita. Untuk tetap bisa bertahan hidup, ia tinggal di daerah pedalaman dan berdagang sembako menggunakan perahu dari pulau ke pulau di Teluk Cendrawasih.
Sialnya, usahanya itu kena tipu orang. Karena terlalu percaya, ia serahkan semua perniagaan kepada anak buahnya. Sang anak buah berdusta mengatakan kepada dirinya kapal terbalik dan barang dagangan habis tercebur ke laut. Ia pun dinyatakan bangkrut total, karena harus membayari barang-barang jualannya yang belum dibayar. Tapi ia tak menyerah dan kembali meniti usaha perniagaan berjualan sembako ke daerah tambang-tambang.
Akan terasa "ngeh" melihat bule di pedalaman Papua untuk menyambung perut ia harus menaiki motor trail dengan barang bawaan sembako penuh. "Jalannya menanjak bukan main, untuk menempuh tambang saya harus berkendara 8 jam melewati hutan sembari bawa barang-barang digendong di belakang," ucapnya.
Baru beberapa bulan usahanya berjalan, Paul kembali terkena sial. Lagi-lagi ia kena tipu akibat bujuk rayu oknum warga yang meminta ia meninggalkan barang dagangannya di tambang. Ia pun hanya mengelus dada meratapi nasibnya itu.
Dan itu hanyalah satu dari belasan kisah tragis Paul yang akan terus berlanjut sampai hari ini.
===================================
Hikayat Paul Cumming (Bagian 2)
Kisah-Kisah Sukses Yang Di Balas Air Tuba
Usai
terkatung-katung selama tinggal di Papua, Paul Cumming akhirnya
menemukan tempat berkarier baru. Adalah Tony Betay yang membawanya untuk
menangani PSBL Bandar Lampung. Gubernur Lampung saat itu, Poedjono
Pranyoto, yang memimpin Lampung selama 2 periode (1988-1993 dan
1993-1998) meminta Paul mengembangkan sepakbola di Lampung.
Paul dan Poedjono bukan kali itu baru saling kenal. Saat Paul membesut Perseman Manokwari, kebetulan waktu itu Poedjono menjabat sebagai wakil gubernur Irian Jaya. Di situlah awal perkenalan keduanya. Poedjono sedikit banyak mengerti bagaimana Paul mampu membangkitkan kesebelasan semenjana seperti Perseman. Untuk itulah, guna menghidupkan kembali PSBL, Paul diminta bekerja di Lampung.
Karenanya, selama tujuh tahun Paul membesut PSBL (1991-1998). Di saat prestasi PSBL mencapai titik puncak dengan mampu lolos ke babak 4 Besar Liga Indonesia di Senayan, krisis politik menimpa Indonesia dengan lengsernya rezim Orde Baru. Kerusuhan di Jakarta membuat kompetisi ditunda, tim yang sudah menginap di Jakarta pun terpaksa kembali pulang.
Selang beberapa bulan kemudian, efek domino krisis ekonomi nasional mulai berimbas pada klub. Demi alasan penghematan, Paul terpaksa dipensiunkan. Tahun 1998, usai pemecatan itu, ia pun kembali berjuang melawan tekanan ekonomi dan beralih haluan membuka usaha penyewaan perahu di Pantai Ringgung, Lampung Selatan.
Tragedi lain dalam kehidupan Paul pun kembali mengintai….
Perahu, kios kecil dan bulan-bulanan preman
Ia mempunyai 12 perahu atau sampan yang biasa disewakan kepada nelayan atau wisatawan. Tarif yang ia patok berkisar Rp10.000 – Rp 15.000 per hari. Ia juga memilki kios kecil di pinggir pantai. Dengan cekatan ia akan membuat kopi atau mie rebus bagi wisatawan yang memesan. Sayang, usahanya itu tidak berjalan memuaskan.
Selain sepi, ia pun kerap dipalak preman-preman. Dana setoran sewaan dan keutungan warung terpaksa ia serahkan kepada preman-preman. Terkadang ia sembunyi di kebun atau hutan selama berjam-jam, menunggu preman yang tak lelah mengganggunya itu pergi dari kiosnya.
Jika tak setor, Paul terus menerus diteror dan diganggu. Sebagai seorang pecinta hewan, banyak piaran ia punya mulai dari monyet, anjing, burung, domba hingga kucing. Tragisnya, hewan piarannya satu per satu mati diracun orang. Seekor domba jantan langka yang doyan makan kabel dan pernah membuat Lampung geger karena kebiasaannya itu pun mati diracun orang yang konon tak suka padanya.
Kriminalisasi memang sudah menjadi bagian dari hidup Paul. Bukan sekali dua perahunya dirusak dan dicuri orang. Sudah 12 kali perahunya hilang dan rumahnya kecurian. Entah siapa pelakunya.
"Saya juga heran, saya sangat dikenal di Lampung tapi kenapa mereka memperlakukan saya seperti ini?" keluhnya.
Petaka ditusuk preman
Puncak kesialan Paul terjadi 27 Juli 2001. Ketika itu dia berkunjung ke toko sembako 'Senang' di Bandar Lampung untuk membeli bahan pokok yang akan ia jual di pondok kecilnya. Kebetulan di toko itu ada 15 preman bersenjata samurai, golok dan pisau sedang memalak pemilik toko.
Tanpa sebab alasan, seseorang dari mereka mengejar Paul. Enam tusukan pisau ditancapkan ke punggungnya. Dengan luka berceceran Paul berusaha kabur dan langsung melapor ke kantor polisi. Bukan pertolongan yang ia dapat, pihakaparat malah memintanya terlebih dahulu membuat laporan bertele-tele, padahal kondisinya saat itu berlumuran darah. Sebuah kisah klasik polisi di Indonesia.
Beberapa lama kemudian, sang pelaku bernama Beny ditangkap. Belum lama luka tusukan itu terasa, keluarga Beny dan rekan-rekan premannya mendatangi Paul. Di bawah tekanan dan ancaman, secara terpaksa Paul memaafkan Beny dengan menandatangi surat damai di Polres Bandar Lampung. Alhasil hukuman Beny pun sangat ringan.
"Waktu itu di pengadilan sedang ada dua kasus persidangan, kasus penusukan saya dan kasus yang maling ayam. Yang kasus saya, Beny hanya dijatuhi hukuman 6 bulan, sedangkan yang maling ayam hukuman penjara 2 tahun," tuturnya sembari tersenyum.
Kepedihan selanjutnya
Tak tahan dengan situasi itu, akhir tahun 2001 Paul pergi ke Nabire, Papua. Saat di Papua ia memang memiliki rumah di sana. Alangkah kagetnya saat kembali ke Nabire tak ada yang tersisa dari rumah itu. Semua perabotan barang yang ia kumpulkan semasa berjuang mati-matian naik turun gunung, berlayar dari satu pulau ke pulau lain nyaris tak ada sisa. Tinggal atap dan tembok saja. Semua harta sudah ludes, apa yang ia miliki di Lampung sudah dijual demi merenovasi rumah di Nabire.
Tahun 2002, Perseman Manokwari kembali mengaetnya. Gajinya teramat kecil. "Tak apa kecil, yang penting ada uang buat makan," katanya. Sayang, lagi-lagi karir Paul tak lama. Semusim kemudian, dia tak lagi dipekerjakan Perseman.
Usai diberhentikan oleh Perseman 2003, kembali hidupnya menderita. Di tahun itu ia sempat sakit malaria, tak punya uang untuk ke dokter Paul pun merana di pondok kecilnya. Ia memang tinggal sendirian dan jauh dari keramaian, Sejak tinggal di Lampung ia memang senang menyendiri. Saat tingga di Nabire, tetangga terdekatnya paling banter 1 km. Dalam kondisi sakit malaria dan terasing, beruntung seseorang pengusaha Julius Permadi menjemputnya dan merawatnya hingga sembuh.
Setelah sehat, di tahun 2004, ia memutuskan sementara waktu untuk ikut sang Istri yang menjadi guru di Malang terlebih waktu itu Nabire dilanda gempa hebat, ia pun mengungsi. Tak menganggur lama, Paul diajak untuk melatih tim futsal Universitas Airlangga di Surabaya tahun 2005. Feedback yang dapatkan sangatlah kecil, Sebuah tempat tinggal dan Gaji bulanan 1 juta per bulan. "Tak ada pemasukan lain, semuanya diirit-irit," ungkapnya.
Setahun kemudian, PSBL kembali memanggilnya, ia pun kembali ke Lampung. Paul kali itu dijadikan alat politikus oleh calon yang hendak ingin maju jadi walikota Bandar Lampung. Jadi kendaaran politikus memang tak mengenakan. Setahun melatih PSBL ia sama sekali tak dibayar. Ada hikmah di balik musibah, Dewi fortuna mendatanginya, panggilan datang dari Bupati Teluk Wondama Papua Barat. Ia diminta mengembangkan sepakbola di kabupaten baru yang hanya berpenduduk 12.000 keluarga itu.
Diberi kepercayaan, semua hal ia curahkan. Mulai dari mendesain kostum, membelikan sepatu pemain, mengumpulkan suporter, hingga membenahi manajemen klub. "Di sana itu masyarakatnya tak begitu suka bola, tak ada pemain bagus dan lapangan yang layak," tuturnya.
Apa yang dilakukan membuahkan hasil, Persiwon yang biasa berkutat di Divisi III lolos ke tahapan selanjutnya. Berkat tangan dinginnya juga nama Patrich Wangai berhasil ditemukan. Bersama dengan Paul, Patrich berhasil membuat Persiwon lolos ke Divisi II, setahun berikutnya ke Divisi I. Tahun 2008, ia diminta untuk membesut tim PON Papua Barat di ajang PON Kaltim.
Tak mengecewakan, anak asuhnya bermain bagus. Sang juara Jawa Timur digebuk 2-0. Hanya saja, permainan kotor yang dilakukan DKI Jakarta membuat timnya kalah 2-0. Alhasil di laga penentuan, Jatim dan DKI bermain mata. Hasil imbang di antara keduanya cukup untuk membuat Papua Barat terhenti di babak 6 besar.
Air susu dibalas air tuba
Usai gelaran PON berakhir, ia kembali ke Persiwon, sampai petaka tersebut terjadi. Gonjang-ganjing kepengurusan PSSI di Jakarta tahun 2010 membuat perjalanan kompetisi jadi tak menentu. Usai menjalani kompetisi divisi I di Banyuwangi, agar tak bolak-balik Papua-Jawa dan menghemat ongkos, tim melakukan latihan di Malang. Bulan demi bulan berlalu, sejak Desember 2010 hingga Agustus 2011 tim tetap kompak rutin latihan.
Hanya saja di penghujung bulan Agustus kabar tak enak itu tiba juga. Secara sepihak manajemen klub Persiwon memecat Paul. Kerugian finansial yang ia dapat tidaklah sedikit, selain gaji yang tak dibayar selama 10 bulan ia pun harus menalangi biaya akomodasi tim selama berbulan-bulan latihan di Malang.
"Uang saya tak diganti, mau gimana lagi. Kerugian saya mencapai puluhan juta. Uang segitu bagi saya sangatlah berarti, itu uang hasil nabung bertahun-tahun," keluhnya.
Stresnya kian bertambah setelah tahu untuk kedua kalinya, satu-satunya harta yaitu rumah di Nabire, rata dengan tanah. Lebih parah lagi, semua isi perabotan rumah, elektronik, parabola bahkan sampai kusen, pintu, jendela, dan atap aluminium ludes dijarah orang “Di sana sekarang sudah rata dengan tanah, karena besi-besi rangka pun dicuri membuat tembok jadi ambruk,” ucapnya dengan raut sedih.
Paul dan Poedjono bukan kali itu baru saling kenal. Saat Paul membesut Perseman Manokwari, kebetulan waktu itu Poedjono menjabat sebagai wakil gubernur Irian Jaya. Di situlah awal perkenalan keduanya. Poedjono sedikit banyak mengerti bagaimana Paul mampu membangkitkan kesebelasan semenjana seperti Perseman. Untuk itulah, guna menghidupkan kembali PSBL, Paul diminta bekerja di Lampung.
Karenanya, selama tujuh tahun Paul membesut PSBL (1991-1998). Di saat prestasi PSBL mencapai titik puncak dengan mampu lolos ke babak 4 Besar Liga Indonesia di Senayan, krisis politik menimpa Indonesia dengan lengsernya rezim Orde Baru. Kerusuhan di Jakarta membuat kompetisi ditunda, tim yang sudah menginap di Jakarta pun terpaksa kembali pulang.
Selang beberapa bulan kemudian, efek domino krisis ekonomi nasional mulai berimbas pada klub. Demi alasan penghematan, Paul terpaksa dipensiunkan. Tahun 1998, usai pemecatan itu, ia pun kembali berjuang melawan tekanan ekonomi dan beralih haluan membuka usaha penyewaan perahu di Pantai Ringgung, Lampung Selatan.
Tragedi lain dalam kehidupan Paul pun kembali mengintai….
Perahu, kios kecil dan bulan-bulanan preman
Ia mempunyai 12 perahu atau sampan yang biasa disewakan kepada nelayan atau wisatawan. Tarif yang ia patok berkisar Rp10.000 – Rp 15.000 per hari. Ia juga memilki kios kecil di pinggir pantai. Dengan cekatan ia akan membuat kopi atau mie rebus bagi wisatawan yang memesan. Sayang, usahanya itu tidak berjalan memuaskan.
Selain sepi, ia pun kerap dipalak preman-preman. Dana setoran sewaan dan keutungan warung terpaksa ia serahkan kepada preman-preman. Terkadang ia sembunyi di kebun atau hutan selama berjam-jam, menunggu preman yang tak lelah mengganggunya itu pergi dari kiosnya.
Jika tak setor, Paul terus menerus diteror dan diganggu. Sebagai seorang pecinta hewan, banyak piaran ia punya mulai dari monyet, anjing, burung, domba hingga kucing. Tragisnya, hewan piarannya satu per satu mati diracun orang. Seekor domba jantan langka yang doyan makan kabel dan pernah membuat Lampung geger karena kebiasaannya itu pun mati diracun orang yang konon tak suka padanya.
Kriminalisasi memang sudah menjadi bagian dari hidup Paul. Bukan sekali dua perahunya dirusak dan dicuri orang. Sudah 12 kali perahunya hilang dan rumahnya kecurian. Entah siapa pelakunya.
"Saya juga heran, saya sangat dikenal di Lampung tapi kenapa mereka memperlakukan saya seperti ini?" keluhnya.
Petaka ditusuk preman
Puncak kesialan Paul terjadi 27 Juli 2001. Ketika itu dia berkunjung ke toko sembako 'Senang' di Bandar Lampung untuk membeli bahan pokok yang akan ia jual di pondok kecilnya. Kebetulan di toko itu ada 15 preman bersenjata samurai, golok dan pisau sedang memalak pemilik toko.
Tanpa sebab alasan, seseorang dari mereka mengejar Paul. Enam tusukan pisau ditancapkan ke punggungnya. Dengan luka berceceran Paul berusaha kabur dan langsung melapor ke kantor polisi. Bukan pertolongan yang ia dapat, pihakaparat malah memintanya terlebih dahulu membuat laporan bertele-tele, padahal kondisinya saat itu berlumuran darah. Sebuah kisah klasik polisi di Indonesia.
Beberapa lama kemudian, sang pelaku bernama Beny ditangkap. Belum lama luka tusukan itu terasa, keluarga Beny dan rekan-rekan premannya mendatangi Paul. Di bawah tekanan dan ancaman, secara terpaksa Paul memaafkan Beny dengan menandatangi surat damai di Polres Bandar Lampung. Alhasil hukuman Beny pun sangat ringan.
"Waktu itu di pengadilan sedang ada dua kasus persidangan, kasus penusukan saya dan kasus yang maling ayam. Yang kasus saya, Beny hanya dijatuhi hukuman 6 bulan, sedangkan yang maling ayam hukuman penjara 2 tahun," tuturnya sembari tersenyum.
Kepedihan selanjutnya
Tak tahan dengan situasi itu, akhir tahun 2001 Paul pergi ke Nabire, Papua. Saat di Papua ia memang memiliki rumah di sana. Alangkah kagetnya saat kembali ke Nabire tak ada yang tersisa dari rumah itu. Semua perabotan barang yang ia kumpulkan semasa berjuang mati-matian naik turun gunung, berlayar dari satu pulau ke pulau lain nyaris tak ada sisa. Tinggal atap dan tembok saja. Semua harta sudah ludes, apa yang ia miliki di Lampung sudah dijual demi merenovasi rumah di Nabire.
Tahun 2002, Perseman Manokwari kembali mengaetnya. Gajinya teramat kecil. "Tak apa kecil, yang penting ada uang buat makan," katanya. Sayang, lagi-lagi karir Paul tak lama. Semusim kemudian, dia tak lagi dipekerjakan Perseman.
Usai diberhentikan oleh Perseman 2003, kembali hidupnya menderita. Di tahun itu ia sempat sakit malaria, tak punya uang untuk ke dokter Paul pun merana di pondok kecilnya. Ia memang tinggal sendirian dan jauh dari keramaian, Sejak tinggal di Lampung ia memang senang menyendiri. Saat tingga di Nabire, tetangga terdekatnya paling banter 1 km. Dalam kondisi sakit malaria dan terasing, beruntung seseorang pengusaha Julius Permadi menjemputnya dan merawatnya hingga sembuh.
Setelah sehat, di tahun 2004, ia memutuskan sementara waktu untuk ikut sang Istri yang menjadi guru di Malang terlebih waktu itu Nabire dilanda gempa hebat, ia pun mengungsi. Tak menganggur lama, Paul diajak untuk melatih tim futsal Universitas Airlangga di Surabaya tahun 2005. Feedback yang dapatkan sangatlah kecil, Sebuah tempat tinggal dan Gaji bulanan 1 juta per bulan. "Tak ada pemasukan lain, semuanya diirit-irit," ungkapnya.
Setahun kemudian, PSBL kembali memanggilnya, ia pun kembali ke Lampung. Paul kali itu dijadikan alat politikus oleh calon yang hendak ingin maju jadi walikota Bandar Lampung. Jadi kendaaran politikus memang tak mengenakan. Setahun melatih PSBL ia sama sekali tak dibayar. Ada hikmah di balik musibah, Dewi fortuna mendatanginya, panggilan datang dari Bupati Teluk Wondama Papua Barat. Ia diminta mengembangkan sepakbola di kabupaten baru yang hanya berpenduduk 12.000 keluarga itu.
Diberi kepercayaan, semua hal ia curahkan. Mulai dari mendesain kostum, membelikan sepatu pemain, mengumpulkan suporter, hingga membenahi manajemen klub. "Di sana itu masyarakatnya tak begitu suka bola, tak ada pemain bagus dan lapangan yang layak," tuturnya.
Apa yang dilakukan membuahkan hasil, Persiwon yang biasa berkutat di Divisi III lolos ke tahapan selanjutnya. Berkat tangan dinginnya juga nama Patrich Wangai berhasil ditemukan. Bersama dengan Paul, Patrich berhasil membuat Persiwon lolos ke Divisi II, setahun berikutnya ke Divisi I. Tahun 2008, ia diminta untuk membesut tim PON Papua Barat di ajang PON Kaltim.
Tak mengecewakan, anak asuhnya bermain bagus. Sang juara Jawa Timur digebuk 2-0. Hanya saja, permainan kotor yang dilakukan DKI Jakarta membuat timnya kalah 2-0. Alhasil di laga penentuan, Jatim dan DKI bermain mata. Hasil imbang di antara keduanya cukup untuk membuat Papua Barat terhenti di babak 6 besar.
Air susu dibalas air tuba
Usai gelaran PON berakhir, ia kembali ke Persiwon, sampai petaka tersebut terjadi. Gonjang-ganjing kepengurusan PSSI di Jakarta tahun 2010 membuat perjalanan kompetisi jadi tak menentu. Usai menjalani kompetisi divisi I di Banyuwangi, agar tak bolak-balik Papua-Jawa dan menghemat ongkos, tim melakukan latihan di Malang. Bulan demi bulan berlalu, sejak Desember 2010 hingga Agustus 2011 tim tetap kompak rutin latihan.
Hanya saja di penghujung bulan Agustus kabar tak enak itu tiba juga. Secara sepihak manajemen klub Persiwon memecat Paul. Kerugian finansial yang ia dapat tidaklah sedikit, selain gaji yang tak dibayar selama 10 bulan ia pun harus menalangi biaya akomodasi tim selama berbulan-bulan latihan di Malang.
"Uang saya tak diganti, mau gimana lagi. Kerugian saya mencapai puluhan juta. Uang segitu bagi saya sangatlah berarti, itu uang hasil nabung bertahun-tahun," keluhnya.
Stresnya kian bertambah setelah tahu untuk kedua kalinya, satu-satunya harta yaitu rumah di Nabire, rata dengan tanah. Lebih parah lagi, semua isi perabotan rumah, elektronik, parabola bahkan sampai kusen, pintu, jendela, dan atap aluminium ludes dijarah orang “Di sana sekarang sudah rata dengan tanah, karena besi-besi rangka pun dicuri membuat tembok jadi ambruk,” ucapnya dengan raut sedih.
==========================================
Hikayat Paul Cumming (Bagian 3)
Walau Sakit, Terus Berusaha lagi, Lagi, Dan Lagi
Paul sedang mengisi kolam renang kecilnya, yang disewakan Rp 1.000 per orang. (Aqwam/PFI/detiksport)
Usai
dipecat dan dirugikan secara sepihak oleh manajemen Persiwon Wondana,
Paul Cumming nyaris tak punya kegiatan, pekerjaan dan penghasilan.
Rumahnya di Lereng Semeru sejak 2011 pun bukan miliknya, melainkan
investasi sang kakak, Rosalind Cumming -- seorang pelukis yang cukup
punya nama di Shrospire, satu daerah di bagian barat Inggris.
Tragisnya, saat proses membangun rumah itu, ia kembali dan lagi-lagi kena tipu. Harga tanah yang seharusnya Rp 40 juta malah ia beli dengan Rp 160 juta, harga yang mahal bagi sebuah tanah yang jauh dari keramaian di tengah desa. Tak hanya itu, bangunan yang mestinya awet dan kuat, dalam beberapa bulan malah sudah retak-retak.
Ia merasa dijahili habis-habisan para pekerja tukang bangunan yang bekerja untuknya. Dana Rp 400 juta yang ia keluarkan, tak sebanding dengan kondisi bangunan yang ditaksir hanya sekitar sepertiganya. Pondasi bangunan dibangun tanpa komposisi semen yang pas, arsitekturnya pun asal-asalan. Beberapa tembok malah miring. Alhasil, penghasilannya yang tak seberapa itu ia habiskan untuk memperbaiki rumah.
Tapi Paul tak mau berdiam diri. Ia merasa malu juga hanya mengandalkan sang istri yang banting tulang sebagai guru dengan gaji yang tak seberapa. Mustahil berpangku tangan. Musykil untuk menyerah. Maka ia memutar otaknya untuk bertahan.
Karena itu, dengan modal seadanya yang ia dapat dari sang kakak di London, pada bagian belakang rumahnya ia membuka usaha rental Play Station. Banyaknya unit mencapai 7 mesin. Tarif yang ia patok Rp 2.000/jam. Seberapa menguntungkan sih bisnis seperti ini? Ya "receh" saja. Per bulan ia hanya bisa meraup omzet kotor kisaran Rp 600 ribu - 1 juta. Hasil itu harus dipotong dengan biaya listrik dan gaji anak tetangga berusia 14 tahun yang membantunya menjaga rental.
Anak itu bernama Fikri. Saat ini dialah asisten Paul. Per hari ia dibayar Rp 15 ribu untuk mengurusi rental PS dan membantu Paul. Omzet yang ia dapat setiap bulan jarang masuk kantong pribadi, lebih sering untuk membayar listrik, gaji fikri maupun servis stik PS yang sering rusak.
Berbagai macam upaya ia lakukan untuk menambah uang. Meja foosball usang yang ia punya, disewakan dengan harga seribu perak setengah jam. Banyak anak-anak yang pakai, tapi seringnya dipakai tanpa bayar.
Di belakang rumahnya, ia pun memiliki kolam renang sederhana, airnya diambil dari PAM Desa. Untuk memenuhi kolam itu dengan air PAM Desa, Paul harus menunggu sampai 7 hari 7 malam.
Sebulan kolam itu efektif dipakai paling hanya 20 hari, 3 hari sisanya dipakai Paul seorang diri untuk menyikat dan mengurasnya. Maklum, air desa sering berlumut dan berdaki. Untuk berenang di sana, ia mematok tiket Rp 1.000 sekali masuk. Paul sebenarnya ingin menaikkan harga itu dari jadi Rp 2.000, tetapi ia merasa berat.
Dalam suatu adegan yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, Paul mengutarakan keinginannya itu kepada anak-anak yang mampir ke rumahnya. "Gimana kalau dinaikkan jadi dua ribu, masih mau gak?" Tanya paul. "Gak Om, mahal," jawab sang bocah.
"Tuh, kan, lihat, mereka gak mau saya naikkan jadi dua ribu. Mereka pernah bilang ke saya, jika dinaikkan dua ribu, mereka lebih memilih berenang di sungai daripada di sini," ucapnya sembari mengangkat kedua tangannya.
Tahukah anda penghasilan yang diterima Paul dari usaha kolam renang dan foosball-nya itu? Hanya Rp 25 ribu/bulan yang masuk dompet.
Play Station yang jadi sandaran hidup
Malam itu waktu menunjukan pukul 21.00 WIB, di luar sudah sangat sepi, hanya terdengar suara jangkrik. Mata Paul sayup-sayup tak kuat menahan rasa kantuk. Tapi ia tampak gelisah tak karuan. Sebabnya, dua gerombolan remaja datang secara bergantian untuk menyewa Play Station untuk dibawa pulang ke rumah. Tarif yang dipatok Paul untuk menyewa seharian adalah Rp 20 ribu/hari.
Tetapi malam itu Paul mencium gelagat tak mengenakan. Ciri-ciri pelanggannya itu sama seperti berita di koran lokal belum lama ini, yang memberitakan beberapa anak SMP yang di-drop out gara-gara ketangkap mencuri PS di Tumpang, 8 km dari rumahnya.
Setelah diusir secara halus, ia takut gerombolan itu kembali. Karenanya ia tak bisa tidur. Play Station miliknya itu kini jadi jimat yang amat berharga baginya. Kendati hasilnya tak seberapa, tapi mesin-mesin buatan Jepang itu adalah penyambung hidup di masa senja. Ia tak ingin PS-nya kembali dicuri orang.
Sejak memulai usaha, sebenarnya ia memiliki 10 buat Play Station, namun tiga bulan lalu Paul kecurian, dua mesinnya raib dirampok maling. Yang lebih getir, yang mencuri adalah anak kampung yang dipercayakan menjadi pembantunya menjaga rental PS. Sedangkan satu mesinnya lagi disewa orang tapi tak pernah dikembalikan hingga sekarang.
Tinggal di Malang, Paul selalu bernasib malang. Sama seperti dulu, hidupnya tetap saja tak lepas dari ditipu, dijahili dan dizalimi. Sering pelanggan rental PS nya kabur dan tak bayar. Sering pula ia kena SMS teror dari warga sekitar. Propaganda guru ngaji di kampung, sempat membuat usahanya nyaris gulung tikar.
"Guru ngajinya pernah bilang ke anak- anak di sini, orang yang main PS tak akan masuk surga. Gara-gara ucapan itu anak-anak kecil di sini takut dan gak mau main PS lagi," katanya.
Kejahatan dibalas dengan senyuman
Usaha lain tak letih-letihnya dilakoni Paul untuk bertahan hidup. Ia pun sempat bertani dengan menanam pohon jeruk di kebun belakang rumahnya. Ada 100 pohon, biaya perawatannya mencapai 2 juta rupiah. Hasil panen yang didapatkan hanya 450 ribu. Sialnya lagi, Paul ditipu oleh petani lokal yang mem-blow-up biaya perawatan menjadi berkali-kali lipat.
Kini pohon jeruk itu masih tertanam di sana, dibiarkan tumbuh liar. Terkadang Paul kesal jeruk-jeruknya yang tak terawat itu hilang dicuri orang.
"Kurang ajar juga anak-anak itu, meskipun sudah dipagar tetap saja mereka mencuri," geramnya.
Di dusun itu terkadang Paul memang tak dihargai. Kerap diledek dan dibentak anak-anak desa yang jadi pelangganya. Hanya saja semua itu dibalas kakek tua itu dengan senyuman lebar yang jadi ciri khasnya. "Pelanggan adalah raja," tuturnya singkat.
Anak-anak itu mungkin tak tahu siapa yang ada di depannya itu. Sesosok pelatih asing yang lebih berjiwa nasionalis ketimbang orang Indonesia itu sendiri. Ia rela tinggal di pedalaman hutan serta pesisir Papua dan Sumatra hanya untuk mengembangkan sepakbola. Ironisnya, selama itu juga ia terkena penyakit malaria hingga 14 kali: 4 kali malaria tropika, 10 kali malaria tessiana.
Takut melatih lagi karena penyakit
Sudah menjadi tekadnya, Paul enggan melatih klub-klub besar di tanah jawa. Ia mengaku lebih bersemangat membesarkan klub-klub kecil yang belum dikenal orang macam Perseman Manokwari dan PSBL Bandar Lampung. Tawaran dari Persib Bandung dan Persebaya pernah ditampiknya dengan alasan idealismenya itu.
Tapi kini idealisme itu kini hanya jadi cerita. Toh ia enggan kembali menjadi pelatih sepakbola. Oleh dokter ia diagnosa menderita penyakit spondilosis [sejenis penyakit rematik yang menyerang tulang belakang].
"Dokter bilang ke saya gak boleh terjatuh atau terpeleset, sekali itu terjadi saya gak akan bangun lagi. Saya jadi kepikiran terus, saya jadi trauma untuk kembali melatih sepakbola takut terpeleset saat latihan," ujarnya.
Tragis memang. Saat ini ia pun menderita penyakit lain. Keningnya terluka dan terus menerus mengeluarkan darah. Kondisi ini sudah terjadi setahun lamanya. Plester dan perban selalu terpampang saat Paul berkaca. Darahnya memang sulit membeku, tapi itu bukan penyakit gula. Entah apa nama penyakit itu dan sampai sekarang luka ini tak sembuh karena Paul memang tak mampu ke dokter untuk memeriksanya. Keuangannya yang pas-pasan jadi penyebabnya.
Untuk berobat ke Kota Malang, setidaknya ia perlu biaya dokter yang mahal serta ongkos Rp 250 ribu untuk menyewa mobil. Paul memang sudah tak kuat lagi naik motor dan angkutan umum. Satu-satunya transportasi hanyalah menyewa mobil.
"Saya tak punya uang untuk sewa mobil dan berobat, kalau ke Kota Malang saya harus sewa mobil ke tetangga 250 ribu, saya gak kuat bayarnya," katanya sembari mengerut.
Tragisnya, saat proses membangun rumah itu, ia kembali dan lagi-lagi kena tipu. Harga tanah yang seharusnya Rp 40 juta malah ia beli dengan Rp 160 juta, harga yang mahal bagi sebuah tanah yang jauh dari keramaian di tengah desa. Tak hanya itu, bangunan yang mestinya awet dan kuat, dalam beberapa bulan malah sudah retak-retak.
Ia merasa dijahili habis-habisan para pekerja tukang bangunan yang bekerja untuknya. Dana Rp 400 juta yang ia keluarkan, tak sebanding dengan kondisi bangunan yang ditaksir hanya sekitar sepertiganya. Pondasi bangunan dibangun tanpa komposisi semen yang pas, arsitekturnya pun asal-asalan. Beberapa tembok malah miring. Alhasil, penghasilannya yang tak seberapa itu ia habiskan untuk memperbaiki rumah.
Tapi Paul tak mau berdiam diri. Ia merasa malu juga hanya mengandalkan sang istri yang banting tulang sebagai guru dengan gaji yang tak seberapa. Mustahil berpangku tangan. Musykil untuk menyerah. Maka ia memutar otaknya untuk bertahan.
Karena itu, dengan modal seadanya yang ia dapat dari sang kakak di London, pada bagian belakang rumahnya ia membuka usaha rental Play Station. Banyaknya unit mencapai 7 mesin. Tarif yang ia patok Rp 2.000/jam. Seberapa menguntungkan sih bisnis seperti ini? Ya "receh" saja. Per bulan ia hanya bisa meraup omzet kotor kisaran Rp 600 ribu - 1 juta. Hasil itu harus dipotong dengan biaya listrik dan gaji anak tetangga berusia 14 tahun yang membantunya menjaga rental.
Anak itu bernama Fikri. Saat ini dialah asisten Paul. Per hari ia dibayar Rp 15 ribu untuk mengurusi rental PS dan membantu Paul. Omzet yang ia dapat setiap bulan jarang masuk kantong pribadi, lebih sering untuk membayar listrik, gaji fikri maupun servis stik PS yang sering rusak.
Berbagai macam upaya ia lakukan untuk menambah uang. Meja foosball usang yang ia punya, disewakan dengan harga seribu perak setengah jam. Banyak anak-anak yang pakai, tapi seringnya dipakai tanpa bayar.
Di belakang rumahnya, ia pun memiliki kolam renang sederhana, airnya diambil dari PAM Desa. Untuk memenuhi kolam itu dengan air PAM Desa, Paul harus menunggu sampai 7 hari 7 malam.
Sebulan kolam itu efektif dipakai paling hanya 20 hari, 3 hari sisanya dipakai Paul seorang diri untuk menyikat dan mengurasnya. Maklum, air desa sering berlumut dan berdaki. Untuk berenang di sana, ia mematok tiket Rp 1.000 sekali masuk. Paul sebenarnya ingin menaikkan harga itu dari jadi Rp 2.000, tetapi ia merasa berat.
Dalam suatu adegan yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, Paul mengutarakan keinginannya itu kepada anak-anak yang mampir ke rumahnya. "Gimana kalau dinaikkan jadi dua ribu, masih mau gak?" Tanya paul. "Gak Om, mahal," jawab sang bocah.
"Tuh, kan, lihat, mereka gak mau saya naikkan jadi dua ribu. Mereka pernah bilang ke saya, jika dinaikkan dua ribu, mereka lebih memilih berenang di sungai daripada di sini," ucapnya sembari mengangkat kedua tangannya.
Tahukah anda penghasilan yang diterima Paul dari usaha kolam renang dan foosball-nya itu? Hanya Rp 25 ribu/bulan yang masuk dompet.
Play Station yang jadi sandaran hidup
Malam itu waktu menunjukan pukul 21.00 WIB, di luar sudah sangat sepi, hanya terdengar suara jangkrik. Mata Paul sayup-sayup tak kuat menahan rasa kantuk. Tapi ia tampak gelisah tak karuan. Sebabnya, dua gerombolan remaja datang secara bergantian untuk menyewa Play Station untuk dibawa pulang ke rumah. Tarif yang dipatok Paul untuk menyewa seharian adalah Rp 20 ribu/hari.
Tetapi malam itu Paul mencium gelagat tak mengenakan. Ciri-ciri pelanggannya itu sama seperti berita di koran lokal belum lama ini, yang memberitakan beberapa anak SMP yang di-drop out gara-gara ketangkap mencuri PS di Tumpang, 8 km dari rumahnya.
Setelah diusir secara halus, ia takut gerombolan itu kembali. Karenanya ia tak bisa tidur. Play Station miliknya itu kini jadi jimat yang amat berharga baginya. Kendati hasilnya tak seberapa, tapi mesin-mesin buatan Jepang itu adalah penyambung hidup di masa senja. Ia tak ingin PS-nya kembali dicuri orang.
Sejak memulai usaha, sebenarnya ia memiliki 10 buat Play Station, namun tiga bulan lalu Paul kecurian, dua mesinnya raib dirampok maling. Yang lebih getir, yang mencuri adalah anak kampung yang dipercayakan menjadi pembantunya menjaga rental PS. Sedangkan satu mesinnya lagi disewa orang tapi tak pernah dikembalikan hingga sekarang.
Tinggal di Malang, Paul selalu bernasib malang. Sama seperti dulu, hidupnya tetap saja tak lepas dari ditipu, dijahili dan dizalimi. Sering pelanggan rental PS nya kabur dan tak bayar. Sering pula ia kena SMS teror dari warga sekitar. Propaganda guru ngaji di kampung, sempat membuat usahanya nyaris gulung tikar.
"Guru ngajinya pernah bilang ke anak- anak di sini, orang yang main PS tak akan masuk surga. Gara-gara ucapan itu anak-anak kecil di sini takut dan gak mau main PS lagi," katanya.
Kejahatan dibalas dengan senyuman
Usaha lain tak letih-letihnya dilakoni Paul untuk bertahan hidup. Ia pun sempat bertani dengan menanam pohon jeruk di kebun belakang rumahnya. Ada 100 pohon, biaya perawatannya mencapai 2 juta rupiah. Hasil panen yang didapatkan hanya 450 ribu. Sialnya lagi, Paul ditipu oleh petani lokal yang mem-blow-up biaya perawatan menjadi berkali-kali lipat.
Kini pohon jeruk itu masih tertanam di sana, dibiarkan tumbuh liar. Terkadang Paul kesal jeruk-jeruknya yang tak terawat itu hilang dicuri orang.
"Kurang ajar juga anak-anak itu, meskipun sudah dipagar tetap saja mereka mencuri," geramnya.
Di dusun itu terkadang Paul memang tak dihargai. Kerap diledek dan dibentak anak-anak desa yang jadi pelangganya. Hanya saja semua itu dibalas kakek tua itu dengan senyuman lebar yang jadi ciri khasnya. "Pelanggan adalah raja," tuturnya singkat.
Anak-anak itu mungkin tak tahu siapa yang ada di depannya itu. Sesosok pelatih asing yang lebih berjiwa nasionalis ketimbang orang Indonesia itu sendiri. Ia rela tinggal di pedalaman hutan serta pesisir Papua dan Sumatra hanya untuk mengembangkan sepakbola. Ironisnya, selama itu juga ia terkena penyakit malaria hingga 14 kali: 4 kali malaria tropika, 10 kali malaria tessiana.
Takut melatih lagi karena penyakit
Sudah menjadi tekadnya, Paul enggan melatih klub-klub besar di tanah jawa. Ia mengaku lebih bersemangat membesarkan klub-klub kecil yang belum dikenal orang macam Perseman Manokwari dan PSBL Bandar Lampung. Tawaran dari Persib Bandung dan Persebaya pernah ditampiknya dengan alasan idealismenya itu.
Tapi kini idealisme itu kini hanya jadi cerita. Toh ia enggan kembali menjadi pelatih sepakbola. Oleh dokter ia diagnosa menderita penyakit spondilosis [sejenis penyakit rematik yang menyerang tulang belakang].
"Dokter bilang ke saya gak boleh terjatuh atau terpeleset, sekali itu terjadi saya gak akan bangun lagi. Saya jadi kepikiran terus, saya jadi trauma untuk kembali melatih sepakbola takut terpeleset saat latihan," ujarnya.
Tragis memang. Saat ini ia pun menderita penyakit lain. Keningnya terluka dan terus menerus mengeluarkan darah. Kondisi ini sudah terjadi setahun lamanya. Plester dan perban selalu terpampang saat Paul berkaca. Darahnya memang sulit membeku, tapi itu bukan penyakit gula. Entah apa nama penyakit itu dan sampai sekarang luka ini tak sembuh karena Paul memang tak mampu ke dokter untuk memeriksanya. Keuangannya yang pas-pasan jadi penyebabnya.
Untuk berobat ke Kota Malang, setidaknya ia perlu biaya dokter yang mahal serta ongkos Rp 250 ribu untuk menyewa mobil. Paul memang sudah tak kuat lagi naik motor dan angkutan umum. Satu-satunya transportasi hanyalah menyewa mobil.
"Saya tak punya uang untuk sewa mobil dan berobat, kalau ke Kota Malang saya harus sewa mobil ke tetangga 250 ribu, saya gak kuat bayarnya," katanya sembari mengerut.
================================================
Hikayat Paul Cumming (Bagian 4 - Habis)
No Country For Old Man
"Trims banyak. 99,9% orang di Indonesia sangat baik dan ramah. Mungkin saya hanya unlucky saja."
Kalimat di atas diucapkan Paul Cumming -- lengkapnya Paul Anthony Cumming -- melalui akun twitter-nya [@papuansoccer]. Kalimat itu merupakan jawaban terhadap mention seseorang yang mengatakan dirinya baru sadar kenapa sepakbola Indonesia tidak kunjung berprestasi setelah membaca feature tentang Paul yang saya tulis untuk subkanal About the Game di detiksport ini.
Lihatlah, dia bahkan tetap mengatakan sesuatu yang positif tentang negeri ini setelah serangkaian pengalaman pahit berinteraksi dengan sepakbola dan orang-orang Indonesia. Apa yang bisa kita katakan kepada orang seperti Paul ini? Orang yang bodoh? Lugu? Naif? Entahlah.
Mungkin ini yang disebut "cinta tanpa syarat". Lelaki kelahiran 8 Agustus 1947 ini memang mencintai Indonesia dengan segala keindahan dan kebrengsekannya.
Andai Paul masih menjadi warga negara Inggris, di usianya yang sudah menginjak 66 tahun ini dia akan bisa menikmati akhir pekan yang manis. Jika masih jadi warga negara Inggris, dia bisa menikmati tunjangan masa tua dari pemerintah sebesar 50 poundsterling per minggu. Dengan nilai tukar sekarang, angka itu sekitar 3 juta rupiah per bulan. Jumlah itu belum ditambah dengan biaya transportasi dan kesehatan yang gratis serta mendapatkan tunjangan khusus untuk biaya rumah.
Dan itu semua bisa diperolehnya dengan cuma-cuma di masa tua, sebagaimana para pembayar pajak lainnya jika sudah memasuki usia lanjut. Bandingkan dengan 650 ribu yang diperolehnya dari usaha menyewakan play station.
Dan yang pasti, Paul bisa berjalan-jalan keliling London, menonton pertandingan Liga Inggris secara langsung di stadion, atau sesekali pergi ke Anfield untuk menonton kesebelasan Liverpool yang sangat dia sukai. Bukan seperti sekarang yang hanya menonton Liverpool melawan Chelsea pada kompetisi game Winning Eleven di ruangan 2 x 3 meter di belakang rumahnya.
Dia sendiri bukannya tak ingin untuk sesekali pulang ke Inggris, sekadar menjumpai handai taulannya yang masih hidup. Tapi nyaris mustahil dia pergi ke Inggris. Jangankan untuk berangkat ke sana, untuk sekadar berbicara dengan saudara lewat telepon pun Paul tak sanggup. Hingga hari ini, sudah hampir 38 tahun ia tak kembali ke Inggris.
Ia pernah dijanjikan tiket pulang saat menukangi PSBL Bandar Lampung. Hanya saja, tiket kepulangan itu bukan tiket pulang pergi ke London, tapi pulang pergi ke Pantai Ringgung, salah satu pantai di Lampung yang memang jadi kediamannya selama di Lampung.
Satu-satunya penyesalan untuk kegagalannya menengok Inggris adalah tak sempat lagi bertemu ibundanya. Dia mengaku tak pernah menceritakan segala hal pahit yang ia alami di Indonesia pada sang ibu. Paul cemas itu akan membuat ibunya sedih. Kepada sang ibu, dia hanya mengisahkan cerita-cerita bagus tentang pengalamannya di Indonesia.
Dan untuk satu hal ini, untuk urusan dengan sang ibu, Paul tak tahan untuk tidak meneteskan air mata. Saya melihat matanya berkaca-kaca ketika mengisahkan bagaimana inginnya dia mengirimkan kado ulang tahun saat ibunya merayakan hari kelahirannya yang ke-79. Paul sudah membeli taplak meja khas Indonesia untuk ibunya. Tapi kado itu urung dia kirimkan. Harga pengiriman paketnya tak sanggup dibayarnya. Sampai saat ibunya wafat pada 2011 silam, tak sekali pun Paul bisa melihat ibunya lagi.
Apakah Paul menyesal? Sama sekali tidak. Dengan nada yang mencoba meyakinkan saya, dia mantap berkata: "Meskipun kondisi saya seperti ini, saya tak pernah menyesal jadi WNI."
Jika pun masih ada hasrat yang tersisa, dia masih memendam keinginan untuk menengok kembali tanah kelahirannya, setidaknya satu kali saja, sebelum dia menutup mata untuk selama-lamanya.
**
Saya pribadi tak ada maksud jauh-jauh mendatangi Paul di Lereng Semeru untuk kembali mengungkit-ngungkit kesedihannya itu. Tujuan saya mulanya untuk mangajaknya berbicara dan mengenang sepakbola Indonesia di dekade 1980-1990an. Saya harap, dengan berbincang bersama orang bule, kami bisa bicara-bicara secara lebih terbuka.
Saya memang mendapatkan cerita-cerita mengenai sepakbola Indonesia di masa lalu, tetapi hanya sedikit. Saya lupa dengan tujuan saya -- terutama setelah melihat sendiri berlangsungnya sebuah adegan tak lama setelah saya sampai di kediamannya.
Saat saya masuk, ternyata di dalam ada tamu. Saya diam menyimak pembicaraan-pembicaraan yang ada. Tamu tersebut ternyata sekretaris notaris yang menguruskan administasi surat-surat tanah Paul. Perhatian saya mulai tertarik ketika melihat respons serta gesture Paul saat mengetahui berapa nominal pajak yang meski ia bayar.
"Dua juta yah?" katanya sembari memijat-mijat keningnya. "Sekarang sayangnya saya tidak punya uang. Nanti akhir bulan saya punya, tapi hanya 650 ribu dari hasil rental PS, bagaimana?" katanya lagi.
Saya langsung mengabarkan apa yang saya alami pada editor saya di Bandung. Alhasil misi pun berubah. Editor saya meminta untuk menggali kisah-kisah Paul dengan lebih detil, bukan untuk menguak-nguak cerita sedih, tapi terutama untuk memotret bagaimana seorang "perantau sepakbola" sepertinya punya daya tahan yang luar biasa menghadapi deraan persoalan hidup yang seakan tiada putus.
Kisah-kisah sedih Paul memang bukan hal baru di telinga para penggemar sepakbola Indonesia. Beberapa media besar seperti koran Tempo, Kompas, majalah Kartini dan media-media lain, baik cetak maupun elektronik pernah mengangkat kisah hidupnya.
Saat kisahnya diangkat ke majalah Kartini tahun 2001 silam, banyak orang yang ingin ingin menyalurkan bantuan dan meminta nomor rekeningnya. "Saya tolak permintaan itu, saya bukan tipikal orang yang dengan mudah menerima bantuan orang lain selama saya mampu berusaha," katanya.
Prinsipnya itu dilakukan hingga sekarang, sedikit oleh-oleh yang saya berikan menjelang kepulangan pun enggan ia terima. Setelah saya paksa dan "ancam" baru ia mau menerimanya.
Dia punya rasa hormat yang sangat tinggi terhadap dirinya sendiri, sama tingginya dengan rasa hormat yang ia punya terhadap negeri ini dan orang-orangnya. Saya kira, itulah sebabnya dia masih bisa mengatakan "99,9% orang Indonesia itu sangat baik dan ramah, saya mungkin hanya unlucky saja".
**
Setelah feature saya beredar di dunia maya, malamnya saya terkejut mendapatkan telepon dari nomor tak dikenal. Setelah diangkat suaranya pun samar-samar tak jelas, selain karena sinyal yang menjemukkan, intonasi dan logatnya pun aneh. Ternyata dia Paul Cumming. Alamak, saya lupa menyimpan nomornya.
Dalam perbincangan yang singkat itu, Paul berterima kasih dan senang dengan respons masyarakat Indonesia terhadap dirinya. Saya sedikit tertawa ketika dia mengeluhkan ada salah satu tulisan di kolom komentar yang bernada sinis kepadanya. Tetapi ia tak marah. "Komentar semuanya bagus," katanya dengan logat bahasa Inggris yang masih teramat kental.
Paul memang masih bisa mengakses internet. Selama ini hanya akses internetlah yang menghubungkan Paul ke dunia luar. Saling bertukar email dengan saudara dan mantan rekan yang menggeluti dunia sepakbola. Internet itu diaksesnya lewat laptop usang dan sebuah modem yang sinyalnya datangnya tidak bisa diduga-duga. Kadang dapat, kadang tidak.
Laptop itu ia beli 2010 silam semasa jadi Pelatih Persewon Wondama. Saya masih ingat debu yang melekat di atas keyboard laptopnya itu tebalnya bukan main, menandakan barang itu memang akhir-akhir ini jarang dipakai dan dibersihkan. Uang dari rentalan PS selalu ia sisihkan untuk membeli pulsa modem yang dipakainya secara selektif untuk menghemat pulsa.
Selain laptop, kekayaan lain yang dimiliki Paul adalah gunungan kliping-kliping surat kabar. Paul memang apik dalam menyimpan barang. Banyak artefak-artefak keren yang saya temukan di sana, mulai dari teamsheet final Persib Bandung versus Perseman Manokwari tahun 1986 hingga lampiran Match Day Program klub lokal Inggris tahun 1903.
Khusus kliping tentang dirinya sendiri ia menyimpan khusus. Entah mengapa, kliping-kliping yang selalu memberitakan dirinya selalu menyedihkan dari diminta deportasi oleh Solihin GP yang waktu itu menjabat Ketua Umum Persib tahun 1985 [saat itu Persib bertemu Perseman di final Divisi Utama Perserikatan] sampai penusukannya di Lampung 2001 silam.
Ada pelajaran hidup yang saya dapat dari Malang. Paul mengajarkan ketegaran dan kesabaran, ia bukan tipikal orang senang menyelesaikan masalah dengan kemarahan. Beberapa kali saya tertawa geli saat ia menceritakan bagaimana mantan-mantan asisten dan pemainnya bersikap yang membuat ia jengkel, mulai dari pengaturan skor, mabuk-mabukan, melakukan tindak kriminal hingga menghamili anak orang. Semua itu diceritakannya dengan jenaka tanpa ada dendam.
Humor seringkali menyelamatkan seseorang dari derita yang sebenarnya tak tertanggungkan. Paul tahu benar fungsi humor itu. Jika ada yang mengatakan bahwa humor paling berkualitas adalah humor yang sanggup menertawakan diri sendiri, Paul adalah masternya. Saat derita sudah tak lagi bisa ditolak, kenapa tidak sekalian saja menertawakannya jika dengan itu kita bisa bertahan lebih panjang -- setidaknya agar waras di kejiwaan?
Sepakbola adalah hidup Paul Cumming. Dia terdampar di Indonesia karena sepakbola, dan dia dikecewakan berkali-kali juga oleh sepakbola. Tapi sepakbola tak mungkin dia lupakan. Sepakbola sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupannya.
Dia kini tak bisa lagi melatih karena cedera tulang belakangnya membuatnya sangat berhati-hati agar tidak terjatuh lagi. Jika dia terjatuh, dia terancam bahaya yang bisa membuatnya sakit dan tak tersembuhkan, setidaknya demikian dokter berkata padanya.
Agar tetap terhubung dengan sepakbola, banyak cara dia lakukan. Membuka usaha rental play station adalah salah satu upaya Paul untuk tak terputus dengan sepakbola. Suara fiktif sorak-sorai penonton di game PS sepakbola akan selalu mengingatkannya pada sepakbola, pada lapangan hijau, dan tentu saja pada kehidupannya sendiri.
Di masa mudanya, semua uang saku yang ia punya bisa habis hanya untuk menonton pertandingan di hari Sabtu. When saturday comes bukan parafrase yang klise bagi Paul muda, itu parafrase sangat menyenangkan baginya.
Di masa tuanya sekarang, dia beruntung mempunyai match day programme yang meng-cover lebih dari 150 ribu pertandingan sepakbola sejak awal abad 20. Koleksinya itu membuatnya bisa mengakses starting-line up ribuan pertandingan, siapa yang cetak gol, menit berapa terjadinya gol, dan data-data teknis pertandingan lainnya.
Jika anda menelusuri ocehan Paul di twitter, beberapa hari lalu dia sempat merespons kicauan seseorang yang berkicau tentang Keith Kayamba Gumps. Paul merespons begini: "Saya punya matchdayprogramme antara St. Kitts & Nevis lawan Oldham Athletic pada 24 Mei 1998. Keith Gumbs lahir 11/9/1972.
Bayangkanlah seorang tua menikmati pertandingan sepakbola melalui lembar-lembar data pertandingan, tanpa suara, tanpa gambar. Hanya teks-teks saja.
"Football means everything to me. Saya tidak bisa hidup tanpa sepakbola," kata Paul kepada saya melalui pesan pendek, tepat saat saya sedang menuliskan bagian penutup tulisan ini.
Paul memiliki mimpi lain, mimpi itu mungkin bisa saja terwujud di bulan Juli nanti. Mimpi itu adalah bertemu tim idola: Liverpool.
Meskipun tinggal di London, Paul amat mencintai Liverpool. Dia pernah hadir di stadion-stadion elite di Inggris. Di masa mudanya awayday adalah hal yang lazim saat ia mendukung tim lokal Hendon Aways, sebuah klub kecil di London. Sayangnya di masa-masa itu ia tak pernah sama sekali menyaksikan Liverpool berlaga secala langsung. Kendati begitu, kekagumannya pada Liverpool tetap terjaga baik-baik dalam ingatan masa mudanya, juga dalam kenangan masa tuanya.
Paul ingin sekali kembali ke Stadion Gelora Bung Karno saat Liverpool datang ke Indonesia Juli nanti. Ia tak berharap untuk duduk di tribun kehormatan atau VIP sama seperti saat dirinya bersama Adolf Kabo, Mathias Woof, Yohanes Sawor dll. menuai kejayaan Perseman Manokwari di tahun 1985-1986.
Baginya duduk di kursi termurah pun sudah sangat sangat bersyukur. Tapi ia sudah putus asa, pesimis mimpinya tersebut tak akan terlaksana. "Keinginan pasti ada, tapi dengan kondisi seperti ini, saya tak bisa. Tak punya uang. Saya nonton dari televisi saja," lanjutnya sembari tersenyum, dengan bola mata yang agak membesar memancarkan kejenakaan yang agak pahit.
Saat itu juga saya kembali mengontak editor saya di Bandung. Lewat pesan pendek, saya ceritakan mimpi Paul untuk menonton Liverpool. Kesal rasanya menyadari editor saya tak segera membalas. Sampai balasan yang saya tunggu pun datang. Editor saya membalas: "Ok, jangan khawatir. Sampaikan pada Paul, dia bisa pergi ke GBK nonton Liverpool. Kita berangkat sama-sama ke Jakarta dari Bandung nanti. Teknis kita atur kemudian."
Belakangan saya tahu, kenapa editor saya lama membalas pesan saya. Rupanya, dia berdiskusi dengan rekan kami lainnya, editor lain, perihal kemungkinan meminta Paul menulis artikel secara rutin untuk Pandit Football. Menilik kecenderungan Paul yang enggan merepotkan orang lain, memintanya menulis artikel adalah pilihan yang sepertinya akan jadi opsi yang terhormat untuknya.
Saya segera menyampaikan permintaan editor itu kepada Paul. Dia menyambut hangat permintaan itu. Saya katakan padanya dia bisa menulis apa saja: pengalaman-pengalamannya, tentang taktik sepakbola, tips-tips bermain bola atau soccer clinic, atau esai-esai lepas yang bisa mengakomodasi pikiran-pikirannya tentang sepakbola. Apapun itu.
Setelah feature pertama tentang Paul itu tayang di subkanal About the Game ini, saya menagih artikel pertama yang ditulisnya. Dia minta maaf karena belum bisa menyelesaikan tulisan. Katanya: "Maaf, saya sudah 5 malam tidak tidur gara-gara jaga play station. Saya coba besok kalau malam ini bisa tidur. Hehehe …."
Saya merasa bersalah dan sepertinya akan kesulitan menguatkan perasaan saya sendiri jika harus menagih artikel kembali. Tapi tulisan "hehehe…" di belakang permintaan maafnya itu menguatkan saya. Saya membayangkan, Paul mengatakan itu tidak dengan wajah muram, tapi sembari tersenyum, dengan bola mata bulat yang memancarkan cahaya terang yang menandakan dia masih hidup, akan tetap hidup, setidaknya mencoba sekuatnya terus bertahan hidup!
You’ll never walk alone, Paul!
===
* Ditulis dari hasil wawancara Paul Cumming (@papuansoccer) dengan @aqfiazfan dari @panditfootball untuk @detiksport
Kalimat di atas diucapkan Paul Cumming -- lengkapnya Paul Anthony Cumming -- melalui akun twitter-nya [@papuansoccer]. Kalimat itu merupakan jawaban terhadap mention seseorang yang mengatakan dirinya baru sadar kenapa sepakbola Indonesia tidak kunjung berprestasi setelah membaca feature tentang Paul yang saya tulis untuk subkanal About the Game di detiksport ini.
Lihatlah, dia bahkan tetap mengatakan sesuatu yang positif tentang negeri ini setelah serangkaian pengalaman pahit berinteraksi dengan sepakbola dan orang-orang Indonesia. Apa yang bisa kita katakan kepada orang seperti Paul ini? Orang yang bodoh? Lugu? Naif? Entahlah.
Mungkin ini yang disebut "cinta tanpa syarat". Lelaki kelahiran 8 Agustus 1947 ini memang mencintai Indonesia dengan segala keindahan dan kebrengsekannya.
Andai Paul masih menjadi warga negara Inggris, di usianya yang sudah menginjak 66 tahun ini dia akan bisa menikmati akhir pekan yang manis. Jika masih jadi warga negara Inggris, dia bisa menikmati tunjangan masa tua dari pemerintah sebesar 50 poundsterling per minggu. Dengan nilai tukar sekarang, angka itu sekitar 3 juta rupiah per bulan. Jumlah itu belum ditambah dengan biaya transportasi dan kesehatan yang gratis serta mendapatkan tunjangan khusus untuk biaya rumah.
Dan itu semua bisa diperolehnya dengan cuma-cuma di masa tua, sebagaimana para pembayar pajak lainnya jika sudah memasuki usia lanjut. Bandingkan dengan 650 ribu yang diperolehnya dari usaha menyewakan play station.
Dan yang pasti, Paul bisa berjalan-jalan keliling London, menonton pertandingan Liga Inggris secara langsung di stadion, atau sesekali pergi ke Anfield untuk menonton kesebelasan Liverpool yang sangat dia sukai. Bukan seperti sekarang yang hanya menonton Liverpool melawan Chelsea pada kompetisi game Winning Eleven di ruangan 2 x 3 meter di belakang rumahnya.
Dia sendiri bukannya tak ingin untuk sesekali pulang ke Inggris, sekadar menjumpai handai taulannya yang masih hidup. Tapi nyaris mustahil dia pergi ke Inggris. Jangankan untuk berangkat ke sana, untuk sekadar berbicara dengan saudara lewat telepon pun Paul tak sanggup. Hingga hari ini, sudah hampir 38 tahun ia tak kembali ke Inggris.
Ia pernah dijanjikan tiket pulang saat menukangi PSBL Bandar Lampung. Hanya saja, tiket kepulangan itu bukan tiket pulang pergi ke London, tapi pulang pergi ke Pantai Ringgung, salah satu pantai di Lampung yang memang jadi kediamannya selama di Lampung.
Satu-satunya penyesalan untuk kegagalannya menengok Inggris adalah tak sempat lagi bertemu ibundanya. Dia mengaku tak pernah menceritakan segala hal pahit yang ia alami di Indonesia pada sang ibu. Paul cemas itu akan membuat ibunya sedih. Kepada sang ibu, dia hanya mengisahkan cerita-cerita bagus tentang pengalamannya di Indonesia.
Dan untuk satu hal ini, untuk urusan dengan sang ibu, Paul tak tahan untuk tidak meneteskan air mata. Saya melihat matanya berkaca-kaca ketika mengisahkan bagaimana inginnya dia mengirimkan kado ulang tahun saat ibunya merayakan hari kelahirannya yang ke-79. Paul sudah membeli taplak meja khas Indonesia untuk ibunya. Tapi kado itu urung dia kirimkan. Harga pengiriman paketnya tak sanggup dibayarnya. Sampai saat ibunya wafat pada 2011 silam, tak sekali pun Paul bisa melihat ibunya lagi.
Apakah Paul menyesal? Sama sekali tidak. Dengan nada yang mencoba meyakinkan saya, dia mantap berkata: "Meskipun kondisi saya seperti ini, saya tak pernah menyesal jadi WNI."
Jika pun masih ada hasrat yang tersisa, dia masih memendam keinginan untuk menengok kembali tanah kelahirannya, setidaknya satu kali saja, sebelum dia menutup mata untuk selama-lamanya.
**
Saya pribadi tak ada maksud jauh-jauh mendatangi Paul di Lereng Semeru untuk kembali mengungkit-ngungkit kesedihannya itu. Tujuan saya mulanya untuk mangajaknya berbicara dan mengenang sepakbola Indonesia di dekade 1980-1990an. Saya harap, dengan berbincang bersama orang bule, kami bisa bicara-bicara secara lebih terbuka.
Saya memang mendapatkan cerita-cerita mengenai sepakbola Indonesia di masa lalu, tetapi hanya sedikit. Saya lupa dengan tujuan saya -- terutama setelah melihat sendiri berlangsungnya sebuah adegan tak lama setelah saya sampai di kediamannya.
Saat saya masuk, ternyata di dalam ada tamu. Saya diam menyimak pembicaraan-pembicaraan yang ada. Tamu tersebut ternyata sekretaris notaris yang menguruskan administasi surat-surat tanah Paul. Perhatian saya mulai tertarik ketika melihat respons serta gesture Paul saat mengetahui berapa nominal pajak yang meski ia bayar.
"Dua juta yah?" katanya sembari memijat-mijat keningnya. "Sekarang sayangnya saya tidak punya uang. Nanti akhir bulan saya punya, tapi hanya 650 ribu dari hasil rental PS, bagaimana?" katanya lagi.
Saya langsung mengabarkan apa yang saya alami pada editor saya di Bandung. Alhasil misi pun berubah. Editor saya meminta untuk menggali kisah-kisah Paul dengan lebih detil, bukan untuk menguak-nguak cerita sedih, tapi terutama untuk memotret bagaimana seorang "perantau sepakbola" sepertinya punya daya tahan yang luar biasa menghadapi deraan persoalan hidup yang seakan tiada putus.
Kisah-kisah sedih Paul memang bukan hal baru di telinga para penggemar sepakbola Indonesia. Beberapa media besar seperti koran Tempo, Kompas, majalah Kartini dan media-media lain, baik cetak maupun elektronik pernah mengangkat kisah hidupnya.
Saat kisahnya diangkat ke majalah Kartini tahun 2001 silam, banyak orang yang ingin ingin menyalurkan bantuan dan meminta nomor rekeningnya. "Saya tolak permintaan itu, saya bukan tipikal orang yang dengan mudah menerima bantuan orang lain selama saya mampu berusaha," katanya.
Prinsipnya itu dilakukan hingga sekarang, sedikit oleh-oleh yang saya berikan menjelang kepulangan pun enggan ia terima. Setelah saya paksa dan "ancam" baru ia mau menerimanya.
Dia punya rasa hormat yang sangat tinggi terhadap dirinya sendiri, sama tingginya dengan rasa hormat yang ia punya terhadap negeri ini dan orang-orangnya. Saya kira, itulah sebabnya dia masih bisa mengatakan "99,9% orang Indonesia itu sangat baik dan ramah, saya mungkin hanya unlucky saja".
**
Setelah feature saya beredar di dunia maya, malamnya saya terkejut mendapatkan telepon dari nomor tak dikenal. Setelah diangkat suaranya pun samar-samar tak jelas, selain karena sinyal yang menjemukkan, intonasi dan logatnya pun aneh. Ternyata dia Paul Cumming. Alamak, saya lupa menyimpan nomornya.
Dalam perbincangan yang singkat itu, Paul berterima kasih dan senang dengan respons masyarakat Indonesia terhadap dirinya. Saya sedikit tertawa ketika dia mengeluhkan ada salah satu tulisan di kolom komentar yang bernada sinis kepadanya. Tetapi ia tak marah. "Komentar semuanya bagus," katanya dengan logat bahasa Inggris yang masih teramat kental.
Paul memang masih bisa mengakses internet. Selama ini hanya akses internetlah yang menghubungkan Paul ke dunia luar. Saling bertukar email dengan saudara dan mantan rekan yang menggeluti dunia sepakbola. Internet itu diaksesnya lewat laptop usang dan sebuah modem yang sinyalnya datangnya tidak bisa diduga-duga. Kadang dapat, kadang tidak.
Laptop itu ia beli 2010 silam semasa jadi Pelatih Persewon Wondama. Saya masih ingat debu yang melekat di atas keyboard laptopnya itu tebalnya bukan main, menandakan barang itu memang akhir-akhir ini jarang dipakai dan dibersihkan. Uang dari rentalan PS selalu ia sisihkan untuk membeli pulsa modem yang dipakainya secara selektif untuk menghemat pulsa.
Selain laptop, kekayaan lain yang dimiliki Paul adalah gunungan kliping-kliping surat kabar. Paul memang apik dalam menyimpan barang. Banyak artefak-artefak keren yang saya temukan di sana, mulai dari teamsheet final Persib Bandung versus Perseman Manokwari tahun 1986 hingga lampiran Match Day Program klub lokal Inggris tahun 1903.
Khusus kliping tentang dirinya sendiri ia menyimpan khusus. Entah mengapa, kliping-kliping yang selalu memberitakan dirinya selalu menyedihkan dari diminta deportasi oleh Solihin GP yang waktu itu menjabat Ketua Umum Persib tahun 1985 [saat itu Persib bertemu Perseman di final Divisi Utama Perserikatan] sampai penusukannya di Lampung 2001 silam.
Ada pelajaran hidup yang saya dapat dari Malang. Paul mengajarkan ketegaran dan kesabaran, ia bukan tipikal orang senang menyelesaikan masalah dengan kemarahan. Beberapa kali saya tertawa geli saat ia menceritakan bagaimana mantan-mantan asisten dan pemainnya bersikap yang membuat ia jengkel, mulai dari pengaturan skor, mabuk-mabukan, melakukan tindak kriminal hingga menghamili anak orang. Semua itu diceritakannya dengan jenaka tanpa ada dendam.
Humor seringkali menyelamatkan seseorang dari derita yang sebenarnya tak tertanggungkan. Paul tahu benar fungsi humor itu. Jika ada yang mengatakan bahwa humor paling berkualitas adalah humor yang sanggup menertawakan diri sendiri, Paul adalah masternya. Saat derita sudah tak lagi bisa ditolak, kenapa tidak sekalian saja menertawakannya jika dengan itu kita bisa bertahan lebih panjang -- setidaknya agar waras di kejiwaan?
Sepakbola adalah hidup Paul Cumming. Dia terdampar di Indonesia karena sepakbola, dan dia dikecewakan berkali-kali juga oleh sepakbola. Tapi sepakbola tak mungkin dia lupakan. Sepakbola sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupannya.
Dia kini tak bisa lagi melatih karena cedera tulang belakangnya membuatnya sangat berhati-hati agar tidak terjatuh lagi. Jika dia terjatuh, dia terancam bahaya yang bisa membuatnya sakit dan tak tersembuhkan, setidaknya demikian dokter berkata padanya.
Agar tetap terhubung dengan sepakbola, banyak cara dia lakukan. Membuka usaha rental play station adalah salah satu upaya Paul untuk tak terputus dengan sepakbola. Suara fiktif sorak-sorai penonton di game PS sepakbola akan selalu mengingatkannya pada sepakbola, pada lapangan hijau, dan tentu saja pada kehidupannya sendiri.
Di masa mudanya, semua uang saku yang ia punya bisa habis hanya untuk menonton pertandingan di hari Sabtu. When saturday comes bukan parafrase yang klise bagi Paul muda, itu parafrase sangat menyenangkan baginya.
Di masa tuanya sekarang, dia beruntung mempunyai match day programme yang meng-cover lebih dari 150 ribu pertandingan sepakbola sejak awal abad 20. Koleksinya itu membuatnya bisa mengakses starting-line up ribuan pertandingan, siapa yang cetak gol, menit berapa terjadinya gol, dan data-data teknis pertandingan lainnya.
Jika anda menelusuri ocehan Paul di twitter, beberapa hari lalu dia sempat merespons kicauan seseorang yang berkicau tentang Keith Kayamba Gumps. Paul merespons begini: "Saya punya matchdayprogramme antara St. Kitts & Nevis lawan Oldham Athletic pada 24 Mei 1998. Keith Gumbs lahir 11/9/1972.
Bayangkanlah seorang tua menikmati pertandingan sepakbola melalui lembar-lembar data pertandingan, tanpa suara, tanpa gambar. Hanya teks-teks saja.
"Football means everything to me. Saya tidak bisa hidup tanpa sepakbola," kata Paul kepada saya melalui pesan pendek, tepat saat saya sedang menuliskan bagian penutup tulisan ini.
Paul memiliki mimpi lain, mimpi itu mungkin bisa saja terwujud di bulan Juli nanti. Mimpi itu adalah bertemu tim idola: Liverpool.
Meskipun tinggal di London, Paul amat mencintai Liverpool. Dia pernah hadir di stadion-stadion elite di Inggris. Di masa mudanya awayday adalah hal yang lazim saat ia mendukung tim lokal Hendon Aways, sebuah klub kecil di London. Sayangnya di masa-masa itu ia tak pernah sama sekali menyaksikan Liverpool berlaga secala langsung. Kendati begitu, kekagumannya pada Liverpool tetap terjaga baik-baik dalam ingatan masa mudanya, juga dalam kenangan masa tuanya.
Paul ingin sekali kembali ke Stadion Gelora Bung Karno saat Liverpool datang ke Indonesia Juli nanti. Ia tak berharap untuk duduk di tribun kehormatan atau VIP sama seperti saat dirinya bersama Adolf Kabo, Mathias Woof, Yohanes Sawor dll. menuai kejayaan Perseman Manokwari di tahun 1985-1986.
Baginya duduk di kursi termurah pun sudah sangat sangat bersyukur. Tapi ia sudah putus asa, pesimis mimpinya tersebut tak akan terlaksana. "Keinginan pasti ada, tapi dengan kondisi seperti ini, saya tak bisa. Tak punya uang. Saya nonton dari televisi saja," lanjutnya sembari tersenyum, dengan bola mata yang agak membesar memancarkan kejenakaan yang agak pahit.
Saat itu juga saya kembali mengontak editor saya di Bandung. Lewat pesan pendek, saya ceritakan mimpi Paul untuk menonton Liverpool. Kesal rasanya menyadari editor saya tak segera membalas. Sampai balasan yang saya tunggu pun datang. Editor saya membalas: "Ok, jangan khawatir. Sampaikan pada Paul, dia bisa pergi ke GBK nonton Liverpool. Kita berangkat sama-sama ke Jakarta dari Bandung nanti. Teknis kita atur kemudian."
Belakangan saya tahu, kenapa editor saya lama membalas pesan saya. Rupanya, dia berdiskusi dengan rekan kami lainnya, editor lain, perihal kemungkinan meminta Paul menulis artikel secara rutin untuk Pandit Football. Menilik kecenderungan Paul yang enggan merepotkan orang lain, memintanya menulis artikel adalah pilihan yang sepertinya akan jadi opsi yang terhormat untuknya.
Saya segera menyampaikan permintaan editor itu kepada Paul. Dia menyambut hangat permintaan itu. Saya katakan padanya dia bisa menulis apa saja: pengalaman-pengalamannya, tentang taktik sepakbola, tips-tips bermain bola atau soccer clinic, atau esai-esai lepas yang bisa mengakomodasi pikiran-pikirannya tentang sepakbola. Apapun itu.
Setelah feature pertama tentang Paul itu tayang di subkanal About the Game ini, saya menagih artikel pertama yang ditulisnya. Dia minta maaf karena belum bisa menyelesaikan tulisan. Katanya: "Maaf, saya sudah 5 malam tidak tidur gara-gara jaga play station. Saya coba besok kalau malam ini bisa tidur. Hehehe …."
Saya merasa bersalah dan sepertinya akan kesulitan menguatkan perasaan saya sendiri jika harus menagih artikel kembali. Tapi tulisan "hehehe…" di belakang permintaan maafnya itu menguatkan saya. Saya membayangkan, Paul mengatakan itu tidak dengan wajah muram, tapi sembari tersenyum, dengan bola mata bulat yang memancarkan cahaya terang yang menandakan dia masih hidup, akan tetap hidup, setidaknya mencoba sekuatnya terus bertahan hidup!
You’ll never walk alone, Paul!
===
* Ditulis dari hasil wawancara Paul Cumming (@papuansoccer) dengan @aqfiazfan dari @panditfootball untuk @detiksport
Tidak ada komentar:
Posting Komentar